Wednesday, June 6, 2007

CORETAN KEDELAPANBELAS

Suatu sore yang muram, aku menyusuri Mangga Besar. Ada aroma khas yang tercerap menusuk-tusuk lobang hidungku. Sebuah aroma yang sulit untuk dijabarkan lewat kumpulan huruf. Sebuah citra yang sulit ditemukan tandingannya.

Aku masuk ke sebuah gang. Salah seorang teman pernah bilang; “Kalau ingin cari Cina ngumpet, di Mangga Besar tempatnya.”

Melewati rumah berdempet-dempetan, aroma khas itu makin santer. Hidungku bahkan tak mampu lagi untuk merasakannya. Aku terbatuk. Ludah kusemprotkan ke dinding rumah yang seperti tidak berbatas.

Jalanan tidak begitu becek. Padahal sewaktu busku berhenti di Lokasari, hujan begitu derasnya. Berhamburan menumpahkan titik-titik air ke pori-pori aspal yang terkoyak.

Aku mengetuk pintu rumah. Perempuan Tionghoa berwajah keriput menyembul di balik pintu. Bertanya tegas tanpa ekspresi, entah karena logat Tionghoa-nya yang begitu kental atau karena wataknya yang seperti itu.

“Mona.” Kata itu yang keluar dari mulutku. Perempuan Tionghoa berwajah keriput itu bergerak-gerak. Alisnya terangkat. Aku kira dia akan marah. Tapi aneh, dia tersenyum ke arahku.

Aku melangkah pelan. Berdiri mematung di depan pintu kamar kost Mona. Ragu-ragu untuk mengetuk. Aneh, sepertinya Mona tahu kalau aku akan bertandang, dia menyingkap gorden pintu kamarnya yang dilapiri kaca bening. Wajahnya tertutupi mukenah. Sepertinya dia baru saja bercengkerama dengan Tuhannya.

Tuhan, aku yakin Engkau mengizinkan Mona menjadi pelacur.


2005

No comments: